Minggu, 20 April 2025

Pendidikan Matrealisme jadi Penjara Halus bagi Jiwa Manusia

  • 15 Januari 2025 14:26

Kemerdekaan berpikir adalah hak yang tak bisa dijeruji. (Potret : Tangkapan Layar/Pustakawarta.com)

OPINI, PUSTAKAWARTA.COM - Pendidikan sejatinya adalah lentera yang menerangi gelapnya jalan menuju kebijaksanaan.

Ia bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses sakral yang mengajarkan manusia untuk memahami nilai-nilai luhur, menjunjung tinggi kebenaran, dan berkontribusi bagi sesama.

Namun realitasnya, pendidikan kini seakan telah ternodai seperti sungai yang kehilangan muaranya. Ia tak lagi mengalir menuju kebijaksanaan, melainkan terperangkap dalam jerat materialisme yang dangkal.  

Saat ini, Kita hidup di era yang mana pendidikan terkadang lebih sering dilihat sebagai alat sistem ekonomi ketimbang sarana membangun peradaban.

Banyak yang memandangnya semata-mata sebagai tiket menuju pekerjaan bergaji tinggi, sementara tujuan sejatinya yakni mencerdaskan kehidupan bangsa terabaikan dan malah meraup keuntungan untuk pribadi bahkan dengan cara yang kotor sekalipun. 

Maka tidak heran, jika pendidikan kini seakan jadi alat yang diperdagangkan seperti komoditas. Lembaga pendidikan berlomba-lomba mematok biaya setinggi langit, namun seringkali gagal memberikan pembelajaran yang layak.  

Lihatlah kampus-kampus megah yang berbalut kemewahan, tetapi miskin esensi. Fasilitas minim, pengajaran dangkal, dan orientasi bisnis lebih mendominasi daripada pengabdian pada ilmu.

Bahkan, praktik tidak etis seperti dosen yang menjual buku demi nilai atau memanfaatkan posisi untuk keuntungan pribadi semakin membudaya.

Bukankah ini ironi terbesar dari dunia akademik yang seharusnya menjunjung integritas?  

Angka dan Nilai: Penjara bagi Kemanusiaan

Hari ini, pendidikan kita terjebak dalam dogma angka. Nilai ujian, peringkat sekolah, IPK atau akreditasi menjadi tolok ukur utama. Nilai moral? Dilupakan. Kompetensi sosial? Diabaikan.

Padahal, angka hanyalah representasi; ia tak pernah mampu mencerminkan esensi manusia. Namun, masyarakat kita, dengan pola pikir pragmatis, justru memuja angka-angka ini seolah-olah mereka adalah puncak pencapaian.  

Lebih tragis lagi, narasi pragmatis ini diperkuat oleh realitas ekonomi. Para lulusan dituntut untuk segera “menghasilkan” tanpa diberi ruang untuk berpikir, merenung, atau memahami nilai kebijaksanaan.

Pertanyaan seperti "Setelah lulus, kerja di mana?","Ngapain sekolah,yang ga sekolah aja jadi bos?" bak seakan menjadi mantra umum yang menyesakkan. Pendidikan akhirnya berubah menjadi jalur cepat menuju materialisme, bukan kebijaksanaan.  

Belum lagi di tengah carut-marut ini, guru sebagai pilar pendidikan justru sering dilupakan.

Kesejahteraan mereka terabaikan, sehingga banyak yang terpaksa mengajar seadanya atau bahkan terlibat dalam praktik-praktik yang mencoreng nama profesi.

Jika para pendidik tidak dimuliakan, bagaimana kita berharap pendidikan dapat menghasilkan manusia unggul?  

Guru adalah ujung tombak peradaban. Meningkatkan kesejahteraan mereka adalah langkah serius untuk mengembalikan pendidikan ke jalur yang benar.

Namun, apa yang terjadi? Kebijakan pendidikan sering kali hanya menjadi alat politik, sementara rakyat termasuk para guru dan siswa - hanyalah pion dalam permainan elit yang haus harta dan kekuasaan.

Muncul pertanyaan besar, apakah kita sedang di jajah dengan industrialisasi pendidikan? 

Para pemegang kebijakan seolah lupa pada marwah luhur yang tercantum dalam UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Amanat besar ini kerap terabaikan di tengah hiruk-pikuk kepentingan pribadi, kelompok, dan perebutan "kue kekuasaan" yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Alih-alih menjadikan masyarakat sebagai prioritas utama, mereka justru larut dalam politik transaksional yang mengorbankan kepentingan rakyat banyak.

Dalam realitas ini, kebutuhan dasar khususnya pendidikan berkualitas, menjadi kerap dikesampingkan.

Padahal, esensi dari mencerdaskan kehidupan bangsa adalah membangun generasi yang berdaya saing, berkarakter, dan mampu menjawab tantangan zaman.

Sayangnya, politik kepentingan telah membutakan sebagian besar pemegang kebijakan. Keputusan-keputusan strategis lebih sering diwarnai oleh negosiasi kekuasaan, lobi-lobi bisnis, dan pembagian jatah untuk kelompok tertentu.

Lantas apakah ini bijaksana? Yang mana hal ini hadir di sekeliling masyarakat yang masih berkutat pada kata "nanti besok mau makan apa?" 

Akibatnya, masyarakat terlebih orang kurang mampu menjadi korban dari sistem yang seharusnya hadir untuk melayani dan melindungi mereka.

Bahkan orang yang mengemban Pendidikan tinggi sekalipun, banyak yang terjebak pada permainan catur elit oligarki yang secara halus membentuk mental mental pekerja pun juga penindas.

Bagi penulis, pendidikan sejati harus mengangkat manusia dari kedangkalan materialisme menuju kedalaman kebijaksanaan.

Ia harus menjadi ruang untuk berpikir kritis, belajar empati, menanamkan nilai moral dan utamanya merdeka atas dirinya sendiri tanpa manut pada sistem kemunafikan yang cenderung bertolak belakang dengan prinsip dan nilai nilai leluhur. 

Lebih dari sekadar sarana mencari pekerjaan, pendidikan harus menjadi proses penciptaan manusia yang mampu bertanya, “Apa yang bisa saya berikan?” alih-alih “Apa yang bisa saya dapatkan?”  

Karena bagaimanapun juga, Kebijaksanaan adalah tujuan terbaik dari pendidikan. Ia bukan sekadar hasil dari pengetahuan yang dikumpulkan, tetapi buah dari pemahaman mendalam tentang hidup. 

Kebijaksanaan melampaui angka-angka, gelar atau status sosial. Ia adalah kemampuan untuk hidup dengan nilai-nilai luhur, membangun peradaban yang berkeadilan, dan memberi manfaat bagi sesama.

Oleh karena itu Penulis percaya, kebijakan yang baik pasti terlahir dari proses yang bijaksana, antara hati akal pikiran dan perbuatan selaras tanpa noda dengan berjalan sebagaimana mestinya. 

Lantas apakah orang berpendidikan tinggi itu pasti bijaksana? Tidak. 

Buktinya, banyak dari kita sebagai manusia yang mengemban tinggi pendidikan formal namun nyatanya malah menindas kepentingan orang banyak. 

Jika pendidikan hanya menghasilkan individu yang egois dan rakus, maka kita telah gagal. Namun, jika pendidikan mampu melahirkan manusia yang berpikir kritis, berperasaan dalam, dan bertindak bijaksana, maka ia telah mencapai tujuan hakikinya.  

Lagi dan lagi, ini adalah soal hati akal, pikiran dan perbuatan yang harus tetap di perjuangkan kebersihannya agar menjadi manusia seutuhnya.

Saatnya kita bertanya : Apakah pendidikan kita masih mengalir ke muara kebijaksanaan? Atau justru tersesat di tengah gelombang materialisme?

Mari bersama mengembalikan pendidikan ke jalur mulianya, agar ia menjadi cahaya yang menuntun generasi menuju peradaban yang lebih bermartabat. Tetaplah jadi diri sendiri tanpa terpenjara oleh doktrin kontaminasi yang mengesampingkan nilai nilai luhur utamanya kasih sayang sesama manusia. (Jilly Ortega) 

Bagikan Berita


Untuk Menambahkan Ulasan Berita, Anda Harus Login Terlebih Dahulu